Sunday, June 7, 2020

KADO PERKAWINAN karya HAMSAD RANGKUTI

Sejak bisa mengingat sampai Rabiah tamat SMP, dia tetap merasakan ejekan yang sama, yang selalu dilontarkan orang kepadanya. Ia selalu ingat bahwa orang senantiasa berbisik di belakangnya kalau mereka lagi tidak senang terhadap dirinya. Bisikan itu selalu dapat didengarnya walaupun dari jarak jauh. Terkadang orang mungkin mengatakan yang lain, tetapi ia seperti mendengar ejekan yang sama dilontarkan kepadanya. Dia akan tersinggung mendengar kata-kata itu diucapkan di depannya. Kata-kata yang menyakitkan itu seperti sembilu yang ditusukkan ke ulu hatinya di dalam dada. Kata-kata “gunting”, “pisau cukur”, “sisir”, “pengetam rambut”, adalah semcam cuka yang dicurahkan ke atas luka yang menggores permukaan hati di dalam dadanya itu.

Tadi siang waktu dia mengantarkan surat undangan perkawinannya kepada Sri, teman bekas sekolahnya di SMP, dia dengar orang berbisik waktu ia melintas hendak pulang. Ia dapat menangkap bisikan itu.
“Anak tukang cukur itu mau menikah. Nasibnya baik. Dia mendapatkan jodoh seorang pegawai negeri. Siapa mengira, anak si tukang cukur bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai kantoran. Aku mau anakku juga bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai negeri.”
Begitulah bisik-bisik orang yang didengarnya. “Anak si tukang cukur mendapat jodohnya. Anak si gunting rambut menemukan jodohnya. Anak si gunting rambut akan menikah.”
“Pinjam sisirmu,” kata mereka mengejeknya di sekolah.
“Masak anak si tukang cukur tidak membawa sisir. Mengapa tidak kauambil salah satu sisir ayahmu?” sindir mereka.
Malamnya ia berkata kepada ibunya, “Mengapa ayah menjadi tukang cukur?”
“Mengapa kau bertanya seperti itu, anakku?”
“Mereka mengejekku. Anak si tukang cukur. Kata mereka.”
“Kau malu?”
“Aku malu, Ibu. Kata mereka aku anak si tukang sayat kulit dagu para pejenggot. Hati-hati kalau kau bercukur kepada ayahnya, kata mereka mengejekku, dia tidak bisa membedakan rambut dan alis mata.”
“Kau malu, anakku?”
“Telingaku tebal menahan malu, Ibu. Mengapa ayah memilih pekerjaan tukang cukur? Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ayah?”
“Semua pekerjaan itu mulia, anakku.” Begitulah si Ibu menasihati anaknya tentang makna sebuah pekerjaan bagi manusia. Kecuali barangkali ibu dari istri seorang maling.

Rabiah selalu ingat bagaimana berat hatinya bila sesekali ia disuruh ibunya untuk mengantar nasi di dalam rantang ke tempat ayahnya mencukur rambut. Ia keluar bersembunyi-sembunyi dari balik rumah untuk membawa rantang itu ke alun-alun. Ayahnya selalu didapatinya tegak berdiri lama-lama di belakang orang yang duduk di atas kursi. Dia lihat rambut berjatuhan ke kulit lengan ayahnya yang memegang ketam cukur. Dia benci melihat ketam cukur itu. Dia benci melihat pisau cukur yang digenggam ayahnya untuk melicinkan ujung rambut yang tumbuh di balik daun telinga, di tengkuk, di pipi, di bawah dagu, dan di bawah lubang hidung orang yang duduk di bangku tukang cukur itu.
Dia benci melihat cermin yang bergoyang ditiup angin bila kendaraan melintas cepat di belakang ayahnya. Dia benci melihat cermin yang bergoyang itu mempermainkan wajah orang yang duduk di depan ayahnya. Ranting-ranting di atasnya kadang terpantul di dalam cermin itu, tetapi Rabiah tidak sempat mempedulikan itu. Dia selalu cepat-cepat saja meletakka rantang di sudut meja cukur ayahnya. Dia tidak pernah berkata lama kepada orang tua itu.

Ia segera pulang membawa uang yang diserahkan ayahnya untuk cepat-cepat dia pergi membeli beras dan membawanya pulang. Dia tidak mau berlama-lama berdiri dekat meja tukang cukur itu. Dia takut kalau-kalau ada salah seorang teman sekolahnya melihat dirinya di tempat tukang cukur itu.
“Dari mana kau? Aku lihat tadi kau membawa rantang,” tanya mereka berbasa-basi. Tetapi teguran itu dirasakannya seperti menyindirnya. “Mengapa mereka selalu melihatku. Mengapa mereka selalu bertanya. Bukankah mereka sudah tahu bahwa aku mengantar rantang untuk ayah. Mereka memang selalu mau mengejekku,” begitu katanya dalam hati.

Rabiah tidak pernah mau menyambut kotak papan tempat alat cukur itu setiap ayahnya pulang. Dia tidak pernah mau menyambut kotak cukur itu sementara ayahnya meletakkan sepedanya di tepi pagar. Kotak papan itu, kalau dia pandai berkata, dia tentu akan berkata seperti ini. “Mengapa kau selalu ingin lari dari kenyataan, Rabiah. Apakah kau tidak sadar bahwa akulah yang memberimu makan sejak bayi sampai kau dewasa. Seharusnya kau sayang kepadaku. Kau tidak boleh benci melihat benda-benda yang kusimpan di dalamnya. Siapa yang membesarkan adik-adikmu? Memberi makan mereka sampai menjadi besar seperti sekarang ini. Siapa yang membelikan bajumu. Siapa yang membelikan bedakmu, membelikan sepatumu, kaos kakimu, buku-bukumu, membayar uang sekolahmu? Siapa, wahai anak gadis pemalu? Mengapa kau lari dari kenyataan itu?”
“Apakah anak si penjaga malam juga mengalami hal yang sama seperti kau? Anak si tukang sapu jalanan itu? Anak si pendorong gerobak sampah itu? Anak si kuli bangunan? Apa yang telah meracuni pikiranmu. Tidakkah kau bersyukur bahwa ayahmu masih mampu mempergunakan alat-alat yang kusimpan di dalam diriku ini? Coba kau bayangkan kalau dia sudah tidak mampu lagi menggerakkan gunting, pengetam rambut, apa jadinya? Coba kau pikirkan siapa yang akan membesarkan adik-adikmu. Siapa yang akan memberi makan nenekmu yang tua. Coba kau pikir, siapa yang akan membelikan daun sirih untuknya. Siapa yang akan membelikan tembakau dan susurnya?”

Tentu saja Rabiah tidak mendengar kata-kata itu semua. Hanya hati nurani anak yang pandai bersyukur yang bisa menangkap ucapan-ucapan yang tidak diucapkan seperti itu. Anak yang tidak pandai bersyukur tentu tidak akan bisa menyuarakan kata-kata seperti itu dari dalam lubuk hatinya.
Mula-mula dia tidak mau mengatakan kepada kekasihnya bahwa dia anak seorang tukang cukur. Dia lama menyembunyikannya. Tetapi, bagaimanapun dia pandai menyembunyikannya, si kekasih akhirnya mengetahuinya juga.
“Mengapa kau malu mengatakannya, Rabiah? Apakah yang membikin kau malu untuk mengatakan hal yang sebenarnya?” Rabiah tidak menjawab pertanyaan kekasihnya.
“Aku bersyukur bisa mendapatkanmu, Sukri. Aku akan bahagia bila telah menjadi istri pegawai negeri. Aku akan bangga, walaupun aku bukan istri seorang pegawai tinggi. Itulah yang telah lama aku cita-citakan, menjadi istri seorang pegawai negeri. Istri si pegawai negeri. Dan orang tentu tidak akan mengatakan lagi, anak si tukang cukur.”

Mendengar kata-kata Rabiah, Sukri tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi masalah seperti itu. Dia tidak mau menyakiti hati Rabiah. Dia masih gadis remaja. Dia masih memiliki mimpi-mimpi seperti yang banyak dialami anak-anak remaja. Rabiah belum siap menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya. Biarkanlah Rabiah berperasaan seperti itu. Banyak alasan orang mengapa dia malu pada apa yang dia sendiri tidak bisa menghindarinya.
“Apa yang kau inginkan sebagai kado perkawinan kita, Rabiah? Mintalah, Rabiah. Mungkin aku bisa membelikannya,” kata Sukri suatu kali kepada keksaihnya itu.
“Aku tidak menginginkan yang bukan-bukan, Sukri. Kemiskinan telah membiasakanku untuk menerima apa adanya. Kau tidak usah memikirkan tentang kado. Dirimu adalah kado yang tak ternilai bagiku. Kau telah memberi kado begitu kau telah mengucapkan akad nikah memperistrikanku. Sebab kado itu telah kau berikan kepadaku: istri seorang pegawai negeri. Itulah kado yang paling berharga yang pernah kudapatkan. Jangan pikirkan kado yang tidak-tidak, sayang.”
Sukri berbahagia mendengar ucapan kekasihnya. Dia tidak mengira Rabiah akan berkata  seperti itu. Dia tidak mengira anak si tukang cukur itu berkata semacam itu. Apa yang telah menutupi dirinya selama ini dan apa pula yang telah membuka selaput yang tidak pernah merasa bersyukur itu selama ini. Betapa ejekan-ejekan yang diterimanya sejak ia bisa mengartikan kata-kata itu tentang sebutan anak si tukang cukur telah merusak jiwanya yang luhur, tidak ubahnya pisau yang tumpul diasah terus-menerus.

Sekarang terwujudlah impiannya untuk menanggalkan sebutan anak si tukang cukur itu dari dirinya. Malam ini adalah pesta menanggalkan sebutan itu, sekaligus pesta itu juga akan meresmikan sebutan baru yang akan melekat pada dirinya.
Tadi pagi penghulu telah menikahkannya dengan Sukri, kekasihnya. Sejak itu dia telah menanggalkan sebutan itu. Pada tempatnya yang sekarang, orang akan melupakan dari mana dia datang sebelumnya. Orang akan menyebutnya: Nyonya Sukri. Istri pegawai negeri.

Tetapi orang masih tetap mengatakan bahwa malam ini adalah malam pesta perkawinan anak si tukang cukur. Apakah Rabiah mendengar sebutan itu? Dia sudah tidak memikirkannya. Dia ingin cepat-cepat saja malam itu berlalu. Dia ingin cepat melihat tukang-tukang cukur teman-teman ayahnya berlalu meninggalkan pesta perkawinan itu. Mereka tidak membawa kado. Tukang-tukang cukur itu hanya bersalaman menyelipkan uang pecahan ke dalam genggaman ayahnya di dalam amplop berwarna.

Tukang-tukang cukur itu telah berganti dengan tamu-tamu para pegawai negeri kerabat suaminya, si pengantin lelaki itu. Pegawai-pegawai negeri itu datang menunjukkan sikap yang saling ingin melebihi di antara mereka. Rabiah merasa bahagia menerima ucapan selamat dari mereka. Lihatlah, mereka datang membawa kado-kado, sedang tukang-tukang cukur itu tidak membawa kado sebuah pun. Mereka tidak mempunyai duit untuk membeli kado. Padahal kado, menurut anak perempuan itu, adalah perlambang dari orang yang hidup di alam modern.

Pesta telah sepi. Rabiah dan Sukri turun dari atas pelaminan. Mereka berdua masuk ke dalam kamar pengantin. Kado-kado itu tertumpuk di atas tempat tidur.
Mereka membuka kado-kado itu. Kado itu dibuka dari bungkusnya. Seolah kado-kado itu melambangkan kenyataan hidup ini. Berapa lamalah kado bisa menyembunyikan isinya untuk tidak dapat dilihat orang. Rabiah membuka kado-kado itu untuk melihat apa yang tersimpan di dalamnya. Dan kado itu pun terbuka dari pembungkusnya untuk mengguncangkan hati Rabiah. Ia tidak yakin dengan apa yang ada dalam kotak karton pembungkusnya. Mungkinkah orang ingin mengingatkan tentang pekerjaan ayahnya. Atau mungkin orang mengirim kado untuk ayahnya. Tetapi mengapa orang menulis begitu di atas kertas ucapan selamat. Ia tidak yakin dengan apa yang dibacanya. Ia mengulanginya. Tulisan itu tidak mengubah artinya walau beberapa kali dibacanya, “Selamat menempuh hidup baru. Terimalah pemberian teman-teman sekantor, Sukri. Mungkin kau memerlukannya di luar dinas untuk mencari penghasilan tambahan. Kami sadar, begitu orang masuk ke dalam dunia rumah tangga, beban hidup akan terus-menerus bertambah.”
“Apakah kado itu tidak keliru dikirimkan untukmu, Sukri? Apakah tidak mungkin mereka mengirimkannya untuk ayahku?”
“Mereka tidak keliru, sayang. Aku memang tidak pernah mau mengatakannya kepadamu selama ini, sayang. Aku tidak mau merusak impianmu. Aku tidak mau mengecewakanmu. Aku hanya ingin membawamu kepada kenyataan itu sendiri.”
“Apakah maksudmu, suamiku?”
“Kau tidak boleh kecewa, sayang. Semua pekerjaan itu mulia. Aku adalah tukang cukur di kantorku. Aku mencukur para pegawai di departemen. Banyak pegawai seperti aku. Para pegawai tidak perlu membuang waktunya untuk bercukur di luar kantor. Kau jangan kecewa, sayang. Kau harus menyadari, bahwa semua pekerjaan yang halal itu mulia, sayang. Kau jangan menangis, istriku. Aku tukang cukur di kantorku.”
“Mengapa kau tidak mengatakannya sejak dulu? Kau tidak jujur terhadap diriku.”
“Aku tidak ingin merusak impianmu. Lagipula menurut perkiraanku, kau tentu tidak akan mengetahuinya. Aku hanya ingin menjaga impianmu. Dan sekarang kuharap kau sudah terbangun dari tidurmu.”
Rabiah menangis. Dia mendekap erat suaminya. Air matanya menetes ke atas baju pengantin lelaki itu. Malam pengantin itu menjadi tidak seindah dari apa yang telah dibayangkannya. Ia makin menangis entah untuk berapa lama.
“Berkurangkah cintamu kepadaku, begitu kau tahu siapa aku, sayang?”
Wanita itu tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dia terus saja menangis sampai dia tertidur di dalam dekapan suaminya.

Pada pagi hari ia terbangun oleh kesibukan orang di luar kamar pengantin mereka. Rabiah mendapatkan dirinya masih tetap dalam pelukan suaminya, yang tidur tersandar di dinding kamar pengantin itu. Dia bangun dari pangkuan suaminya. Ia baringkan kepala suaminya di atas bantal. Dia benarkan letak badan suaminya di atas tempat tidur. Dia pandangi tukang cukur itu tidur lelap di bawah kain selimut yang ditutupkannya sendiri. Ia menangis melihat laki-laki yang terbaring itu. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya. Dia menciumnya sampai rasa menyayat di hatinya berangsur lenyap. Dia mendekap lelaki yang tertidur itu. Lama ia berbuat seperti itu sampai pada akhirnya dia memandangi kotak kado yang berisikan alat-alat cukur itu. Dia mendekatkan wajahnya ke kotak itu. Dia buka tutupnya pelan-pelan. Meraba benda itu dengan jari-jarinya yang lembut. Menutup kotak itu kembali, dan dia melekatkan pipinya yang basah di atas kotak itu, Air matanya jatuh membasahi kotak penyimpan alat-alat cukur itu.

Di beranda dia dengar ayahnya mengeluarkan sepeda. Orang tua itu sungguh mencintai pekerjaannya. Dia telah bersiap-siap untuk berangkat kerja meskipun pagi itu pagi pertama hari perkawinan anak gadisnya. Rabiah turun dari atas tempat tidur itu dan membuka pintu. Dia pergi ke ruang tengah. Ayahnya mendorong sepeda ke pekarangan. Orang tua itu menyandarkan sepedanya di tepi pagar. Tukang cukur itu telah bersiap-siap untuk masuk mengambil kotak cukurnya di dalam kamar. Rabiah memandang ayahnya. Baru kali ini dia dapat melihat betapa menderita orang tua itu, berdiri sehari penuh di bawah pohon, dimandikan panas matahari. Rabiah berlari mengambil peti alat cukur ayahnya dari dalam kamar ayahnya. Membawanya berlari ke hadapan orang tua itu. Dan begitu sampai ke depan ayahnya, dia terus mendekap orang tua itu. Dia menangis mendekap ayahnya. Peti alat cukur itu menggelantung di dalam pegangannya di belakang tubuh ayahnya. Tukang cukur itu tidak tahu apa penyebab tangis anaknya.
                                                    (“Lukisan Perkawinan”, Sinar Harapan, hal. 154-162)

Saturday, May 9, 2020

Catatan Isolasi Mandiri


Hari kedelapan Isolasi Mandiri

Tak ada Bu Endang, sekolah sepi, tulis Dik Anti di group WhatsApp Guru. Walah Dik, kami serumah sedang isolasi mandiri di rumah, balasku. Langsung geger group WA, ada apa? Bu Endang dari mana, kok harus isolasi? Satu per satu pertanyaan yang berseliweran kujawab. Rupanya saya tukang bikin geger, hihihi. Saya termasuk guru yang sering hadir di sekolah selama KBM di rumah. Maklum sekolah dekat dengan rumah kami, hanya berjarak kurang dari 500 meter.

Dik Anti guru honorer di sekolah kami. Dia bertemu jodoh di tempat mengajar, ya, di sekolah kami ini. Suaminya Pak Mirza juga guru honorer. Lulus SMA, Dik Anti mengikuti UMPTN dan diterima kuliah di Unnes jurusan Pendidikan Kimia, sebetulnya bukan Kimia yang dituju, dia ingin kuliah jurusan Biologi.

Kecintaannya pada Biologi mendapat penyaluran saat ada Lomba Kompetensi Siswa (LKS) Mapel Biologi. Dia membimbing siswa mengikuti LKS Biologi tingkat Kabupaten Kendal dan berhasil meraih Juara I. yang menimbulkan kontroversi karena sekolah kami tidak ada pelajaran Biologi, kok menjadi juara LKS Biologi?

 Selain pintar, Dik Anti juga tegas dan teguh memegang prinsip. Saya banyak belajar darinya. Satu ujian hidup yang mungkin tak sanggup saya menanggungnya. Seperti biasa yang terjadi di masyarakat kita, pertanyaan yang ‘menuntut.’ Jika sudah lulus kuliah, kerja di mana? Sudah punya pacar? Kapan menikah? Anaknya berapa? Sudah lama menikah kok belum punya momongan? Dan sederet pertanyaan lain yang tanpa disadari sering menimbulkan frustasi pihak yang ditanya.

Dik Anti juga menerima berondongan pertanyaan itu. Dan hamper dua tahun pernikahan tak kunjung ada tanda-tanda kehamilan. Demi ketenangan akhirnya datanglah Dik Anti dan suami ke dokter kandungan. Setelah beberapa kali konsultasi dan periksa, akhirnya hasil diagnosis Dik Anti keluar. Rahim Dik Anti retrofleksi. Rahimnya terbalik. Kedua tubafalopinya tertutup, praktis tidak ada sel telur yang bisa keluar. Banyak kasus perempuan mengalami penyumbatan tubafalopi dan akan Kembali normal setelah dilakukan tindakan laparoscopy. Kasus Dik Anti sangat berbeda, tindakan itu tidak dapat dilakukan untuknya. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah tiup atau operasi (laparoscopy) tapi kemungkinan berhasilnya sangat rendah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dik Anti merasakan seolah langit runtuh karena divonis dokter : kemungkinannya untuk bisa hamil 0 %, tidak bisa hamil. Seketika dia menyarankan suaminya untuk mencari istri lagi. Poligami_suatu keadaan yang tidak pernah diinginkan oleh perempuan manapun. Beruntung Pak Mirza sabar menghadapi sikap Dik Anti yang emosional. Dia berusaha menenangkan istrinya. “Aku mencintaimu dan akan tetap bersamamu sampai ke surga, ada ataupun tiada anak.”

Beberapa hari kemudian hasil diagnosis Pak Mirza keluar, tak kalah mengejutkan, sperma Pak Mirza dinyatakan lemah karena jumlahnya hanya 1/10 dari jumlah sperma lelaki normal. Dunia benar-benar kiamat dirasakan Dik Anti. Dia langsung minta cerai, untuk apa menikah jika tujuan pernikahan tidak tercapai? Tidak memiliki keturunan. Dengan susah payah Pak Mirza meyakinkan istrinya. Bahwa banyak keluarga yang tetap berbahagia meskipun tidak bisa memiliki keturunan. Banyak anak-anak yang bisa kita asuh selayaknya anak sendiri.

Kesabaran Pak Mirza meluluhkan hati Dik Anti. Dik Anti merasa dosanya memenuhi langit dan bumi. Dia pun bertobat, mohon ampun kepada Allah atas segala kekhilafan, atas segala kesalahan, tidak pernah bersyukur, dianugerahi suami yang baik, orang tua yang penuh kasih sayang. Dia pun bersujud minta maaf kepada suami dan ibunya, satu-satunya orang tua yang masih hidup.

Dik Anti mencoba realistis. Hitung-hitungan secara Matematis, tidak memungkinkan untuk melakukan terapi ke dokter spesialis kandungan berdua. Minimal per bulan membutuhkan dana dalam  kisaran Rp 6 juta. Penghasilan mereka tidak sampai angka itu. Tabungan yang tersimpan pun hanya cukup untuk terapi satu setengah bulan. Hasilnya juga tidak bisa diharapkan. Maka mereka memutuskan untuk bertransaksi langsung kepada Allah, Tuhan semesta alam. Dia yang membuat penyakit, Dia juga yang bisa menyembuhkannya. Setiap malam mereka menangis di atas sajadah, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada-Nya. Seluruh tabungan, beberapa perhiasan kecuali sepeda motor semua disedekahkan ke panti asuhan. Selain itu mereka juga mencari pengobatan alternatif, dokter herbal, dr. Ahmad Ali Ridho, Semarang.

“Bu Endang, titip infak, ini semua honor saya dari sekolah. Saya cukup menerima nafkah dari suami.” Kata Dik Anti suatu ketika.
“Untuk siapa, Dik?” selidik saya.
“Terserah Bu Endang”
“Untuk saya?”
“Kalau Bu Endang doyan, silahkan!”

Dik Anti merasa tidak ada gunanya menabung, menyisihkan uang, buat apa memliki uang banyak? Mau buat apa? Untuk siapa? Maka honor Dik Anti selama beberapa bulan diserahkan kepada saya sebagai infak. Infak yang dititikan kepada saya, saya serahkan ke panti asuhan dan mohon didoakan agar yang berinfak diberikan kesempatan untuk mendapatkan keturunan oleh Allah. Jika Allah berkehendak, kun fayakun. Tanpa tindakan medis, tanpa ditiup, tanpa laparoscopy, tanpa Pak Mirza melakukan suntikan hormon, alhamdulillah Dik Anti dinyatakan positif hamil.

Ternyata ujian untuk Dik Anti belum selesai. Begitu hamil, tidak ada makanan yang bisa masuk ke lambungnya. Semua keluar dimuntahkan. Dik Anti yang kurus semakin kurus kering. Beberapa kali harus dirawat inap di rumah sakit. Sembilan bulan penuh tidak pernah merasakan kondisi nyaman. Pernah Dokter menyarankan untuk diaborsi karena membahayakan kesehatan ibunya. Dik Anti tidak mau. Dia bersikeras mempertahankan bayinya. Bayi yang sangat didambakannya.

Alhamdulillah setelah perjuangan panjang dan pertaruhan nyawa, Dik Anti berhasil melahirkan putri yang cantik. Rasa syukur tak terhingga atas karunia Allah, mereka berkesempatan memiliki buah hati, Iza putri yang didambakan. Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah. (Q.S. At Taubah : 75). Semoga Dik Anti dan keluarganya juga kita semua termasuk golongan orang-orang yang sholeh.

Sebagai rasa syukur Dik Anti curahkan perhatian dan kasih sayang untuk putri kecilnya, hingga tumbuh menjadi putri yang manis dan membahagiakan keluarga. Iza tumbuh sebagai anak yang sehat karena ibunya kuat. Dik Anti menyadari kesulitannya mendapatkan keturunan, maka dia pun tak berani berharap menambah anak lagi. Satu pun sudah cukup, yang penting bisa mendapatkan keturunan.

Kebahagiaan yang dirasakannya membuat waktu berjalan sangat cepat. Dua tahun sudah usia Iza, tak disadari kalau ternyata Dik Anti diberi amanat lagi oleh Allah. Tanpa diminta pun Allah berikan. Dik Anti hamil lagi. Dik Anti baru menyadari kehamilannya saat semua makanan yang dia makan keluar. Dikira sakit maghnya kambuh sampai opname di rumah sakit.

Hal yang sama saat hamil pertama pun terjadi. Kondisi Dik Anti lemah dan semakin payah. Rumah sakit kembali menjadi langganan. Keluar masuk rumah sakit selama Sembilan bulan mengandung anak kedua. Dan setelah genap, lahirlah Aqila, putri yang melengkapi kebahagiaan mereka. Anugerah itu semakin mendekatkan mereka kepada Allah Sang Khalik.

Saturday, February 24, 2018

Sempurnalah Kebahagiaanku

Dua puluh satu tahun yang lalu, tak kan pernah kulupakan. Saat-saat menghadapi persalinan masih melekat erat di ingatanku. Hari itu Ahad, karena libur Mas Inu menyempatkan diri untuk nukang; melapisi lantai bagian teras belakang dan dapur dengan adukan semen dan pasir (plester). Karena perutku sudah besar tinggal nunggu persalinan terpaksa tidak bisa membantu Mas Inu. Tapi kutunggui saja sudah cukup menyenangkan Mas Inu. Biasanya kami nukang berdua, lho...
Sore harinya aku periksa ke bidan sendiri tanpa ditemani suami. Ternyata menurut bidan bayi di dalam kandunganku sudah mau lahir maju sekitar 10 hari dari perkiraan. Tapi aku belum merasakan kontraksi. Jadi aku putuskan untuk pulang sambil mencoba menghubungi Mak'e yang tinggal di Kaliwungu, sekitar 10 km dari tempat tinggal kami atau sekitar 20-30 menit naik angkutan umum. Saat itu kami belum memiliki telepon. Kalau Mas Inu ninggal aku ke Kaliwungu khawatir terjadi sesuatu padaku dan bayiku. Maka aku usul, numpang telepon ke tetangga saja. Mas Inu setuju dan langsung ke wartel nelpon Pak Solichin Kampung Kenduruan tetangga kampung orang tua kami sekalian minta tolong agar menyampaikan ke Pak Wiroso untuk meminta Mak'e ke Kendal sekarang juga karena cucunya sudah mau lahir.

Singkat cerita, sekitar jam 20.00 WIB Mak'e dan Yuk Tukhah sampai di rumah kami. Agak bingung juga melihatku masih duduk-duduk di rumah. Mak'e pun menyuruhku untuk segera ke rumah bidan yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah kami. Kami memang menunggu Mak'e datang agar Ica, anak pertama kami ada yang menemani di rumah.

Tiga kali hamil (yang kedua keguguran) aku tidak pernah ngidam apapun. Tapi melahirkannya pake lama. Yang anak pertama awal kontraksi jam 03.00 dini hari, baru lahir isya. Rupanya hal itu terulang lagi. Awal kontraksi bar isya baru lahir persis bareng adzan subuh.

Sekali lagi suamiku menunjukkan kehebatannya. Setelah seharian tidak istirahat, malam itu pun ikut begadang tidak tidur menemaniku yang akan melahirkan. Padahal biasanya kalau sampai tengah malam tidak tidur langsung masuk angin, lho... Saat itu dengan penuh kesetiaan dia mendampingiku, menyuapi teh, kopi, juga telur ayam mentah untuk menambah kekuatanku. Saat kesakitan aku berteriak-teriak menyebut nama Allah. Suami nampak kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Saat sakitnya reda kami pun ngobrol. Tak tahu mengapa, setiap kali mau melahirkan aku selalu merasa seolah-olah itulah saat terakhirku. Maka tak kulewatkan kesempatan untuk minta maaf pada suamiku. "Mas, maafkan segala kekhilafanku, ya?"
"Ridhoi aku, ya, Mas." Kata-kata itu berulang kali kuucapkan. Suami selalu menjawab, "Iya..."
_"Jalukke ngapuro karo Mak'e, ya, Mas_,"
 _"Jalukke ngapuro karo kabeh wong, yo_."
"Iyo..." Mas Inu selalu menjawab. Sampai aku bertanya, "Mas, _nek aku mati piye_?"
Tak disangka tak dinyana, Mas Inu menjawab,  _"Yo ngko tak kubur_"
Bu Bidan sampai terkejut, _"Mbok ampun ngaten, Pak_"
_"Lha nek mboten dikubur mangkih medeni tonggo."_
_"Tapi nggih, ampun njawab ngaten... niki ibuke, kan, nembe toh nyowo"_
Mas Inu, ya, aneh... bukannya dibesarkan hati istri yang ketakutan kalau sampai harus mati saat melahirkan, malah dijawab dengan bercanda.
Mestinya, kan, dikuatkan, "Tidak, sayang, kau tidak akan mati sekarang, kita akan mendidik dan membesarkan anak - anak kita berdua, sampai mereka berhasil menjadi orang yang sukses."

Ketakutanku semakin bertambah, aku takut kalau anakku lahir cacat. Soalnya hamil kali ini kami sudah hidup terpisah dari orang tua. Orang tua Jawa selalu banyak sekali pantangan untuk orang hamil atau untuk suami yang istrinya sedang hamil. Dan ternyata aku Jawa tulen. Meski tidak percaya dengan segala macam takhayul yang diyakini sebagian besar orang, ada sedikit kekhawatiran juga. Bagai video yang diputar ulang di hadapanku, segalanya nampak sangat nyata, karena rumah kami rumah mewah _(mepet sawah)_di pinggir sawah, banyak binatang yang bertamu di rumah kami tanpa diundang. Serasa di kebun binatang pokoknya. Sehingga hampir tiap hari Mas Inu membunuh ular dan tikus, menutup rumah yuyu _(nablek leng)_ dan sebagainya. Maka aku pun khawatir kalau anakku yang akan lahir sampai cacat.
Menjelang tengah malam anakku tak kunjung lahir, aku iseng bertanya kepada Bu Bidan. "Bu, biasanya kalau masuk jam 8 malam kira - kira bayi lahir jam berapa, ya?"
"Tiap orang beda - beda, Bu, ada yang cepet, ada yang sampai 2-3 hari."
Tapi kalau seperti njenengan biasanya sekitar jam 12 atau jam 1 sudah lahir."
Aamiin...
Dan jam 1 pun berlalu, hampir kehilangan kesabaran aku bertanya hal yang tidak penting dan tidak bermutu.
"Bu, sudah jam 1 kok anakku belum lahir?"
_"Bu, njenengan kan sampun pirsa,_ kalau lahir, mati, jodoh, dan rezeki adalah rahasia Allah. Kita merencanakan kalau Allah belum berkehendak, ya, tak akan terjadi."

Akhirnya setelah diserang kantuk yang sangat, Bidan memintaku untuk mengejan. Tapi aku ngantuk sekali... " Ayo, Bu, kasihan putrane, dia sudah berusaha dengan keras, tanpa kerja sama njenengan, ibuke, usahanya akan sia-sia."
Maka dengan berjuang melawan kantuk aku pun mengejan sekuat-kuatnya. Hampir satu jam aku berusaha sampai hampir putus asa. Akhirnya, bersamaan dengan suara adzan, hari Senin, 24 Februari 1997, anakku lahir normal, sehat dengan berat 3,8kg dan panjang 49cm.
Bayiku langsung dibersihkan Bu Bidan, baru kemudian membersihkan aku. Aku penasaran karena belum melihat bayiku dengan cermat. Masih ada kekhawatiran yang menyeruak di hatiku. Apakah anakku lahir sempurna, tanpa cacat sedikitpun? Maka aku agak memaksa Mas Inu untuk mengambilkan bayiku. Bayi yang sudah dibedong rapi kulepas. Kuperiksa dengan teliti seluruh tubuhnya. Matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya tidak ada yang aneh. Kuhitung jari-jari tangan dan kakinya, lengkap. Alhamdulillah, ya, Allah, terima kasih atas karunia-Mu, anak laki-laki yang sehat, lengkap, menyempurnakan kebahagiaan kami setelah memiliki anak pertama perempuan.

Setelah beres semua, Mas Inu pulang membawa ari-ari untuk dikubur dan salat subuh. Mak'e dan Ica datang melihat cucu dan adiknya. Aku merasa ingin ke kamar mandi, tapi saat mencoba turun aduuh... kakiku sakit sekali. Rasanya telapak kakiku seperti ditusuk-tusuk jarum. Aku tak bisa turun dari tempat tidur. Selanjutnya lebih parah lagi. Kakiku lumpuh. Tak bisa digerakkan. Astaghfifullah... ampuni segala kekhilafanku, ya, Rob. Mas Inu tidak mengetahui hal ini karena dia sudah berangkat kerja. Bidan juga berangkat ke Puskesmas. Untung ada Mak'e. Mak'e is my hero. Mak'e memang tak ubahnya bagai seorang dukun bayi. Karena banyak sekali merawat bayi baik anak-anaknya, maupun anak keponakan. Kakiku pun diurut Mak'e dengan minyak goreng minta pembantu di rumah Bidan. Baru sore harinya kami pulang ke rumah. Kakiku sudah bisa digerakkan tapi masih sakit. Rasa sakit yang pelan-pelan mulai berganti dengan kebahagiaan merawat anak yang kami beri nama FAHRI NUHA MUHAMMAD RISYAD. Semoga menjadi orang yang senang berpikir, mulia dan teguh pendirian (istiqomah) di jalan Allah.

Tuesday, December 27, 2016

Om Telolet Om; Bahagia Itu Sederhana

Sungguh fenomena yang luar biasa, dan sepertinya hanya terjadi di Indonesia. Om, telolet, Om adalah sapaan untuk sopir bus agar membunyikan klakson yang disetting khusus dengan bunyi khas. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu istilah itu menjadi viral di media sosial. Demam yang tidak saja melanda anak-anak, namun semua usia, remaja bahkan orang tua, terutama ibu-ibu sangat terhibur dengan bunyi klakson bus ini.
Sapaan yang semula hanya permintaan membunyikan klakson berkembang menjadi narsis bersama bus yang membunyikan klakson itu, merekam bunyi, sampai kontes telolet. Sungguh hiburan yang murah meriah. Semua terhibur, semua bahagia.
Sekarang banyak versi cerita muncul tentang asal muasal istilah Om, Telolet, Om. Ada yang mengatakan dari Jepara kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Ada yang mengatakan itu bunyi klakson bus di Timur Tengah (Arab) karena onta tak akan menyingkir jika diklakson dengan klakson biasa. Ada lagi versi guyonan ala Mukidi.
Selanjutnya muncul meme dengan istilah lain tapi terinspirasi dari istilah Om Telolet Om, yaitu Om Sholawat Om, Om Jumatan Om, Om Telat Om, Om Teloanget Om, dll.
Para aktivis pasti juga menerima artikel larangan ikut-ikutan Om Telolet Om yang katanya adalah propaganda Yahudi. Serem banget. Baguslah untuk peringatan agar kita tidak lalai dengan kegiatan minta bunyi klakson. Jangan sampai karena asyik menunggu telolet sampai kita mengabaikan kewajiban kita sebagai pribadi, sebagai hamba, dan makhluk sosial.
Para Busmania penggemar telolet, jaga keselamatan diri, jangan sampai kita mencari hiburan malah mendapatkan musibah bahkan menemui ajal, karena terlalu ke tengah jalan. Naudzubillahi min dzalik.
Om Sopir terima kasih sudah menghibur kami. tetap bunyikan klakson seperlunya jangan sampai mengganggu ketertiban lingkungan.
Salam Om Telolet Om.

Tuesday, May 17, 2016

Tentang Gubernur NTB

Presiden RI Masa Depan

Oleh: Dahlan Iskan

Tuan Guru dengan Masa Depan yang Panjang

Inilah Gubernur yang berani mengkritik pers, secara terbuka. Di puncak acara Hari Pers Nasional (HPN) pula. Di depan hampir semua tokoh pers se-Indonesia. Pun di depan Presiden Jokowi segala. Di Lombok, tanggal 9 Februari lalu.

Inilah gubernur yang kalau mengkritik tidak membuat sasarannya terluka. Bahkan tertawa-tawa. Saking mengenanya dan lucunya.
”Yang akan saya ceritakan ini tidak terjadi di Indonesia,” kata sang gubernur. ”Ini di Mesir.”

Sang gubernur memang pernah bertahun-tahun belajar di Mesir, setelah menyelesaikan studinya di Pesantren Gontor, di universitas paling hebat di sana: Al Azhar. Bukan hanya paling hebat, tapi juga salah satu yang tertua di dunia.

Dari Al Azhar pula, Sang Gubernur meraih gelar doktor. Untuk ilmu yang sangat sulit: Tafsir Alquran. Inilah satu-satunya kepala pemerintahan di Indonesia yang hafal Alquran. Dengan artinya, dengan maknanya, dan dengan tafsirnya.

Mesir memang mirip dengan Indonesia. Di bidang politik dan persnya. Pernah lama diperintah secara otoriter. Lalu, terjadi reformasi. Bedanya: Demokrasi di Indonesia mengarah ke berhasil. Di Mesir masih sulit ditafsirkan.

”Di zaman otoriter dulu,” ujar Sang Gubernur di depan peserta puncak peringatan Hari Pers Nasional itu, ”Tidak ada orang yang percaya berita koran,” Gubernur sepertinya ingin mengingatkan berita koran di Indonesia pada zaman Presiden Soeharto. Sama, tidak bisa dipercaya. Semua berita harus sesuai dengan kehendak penguasa.

”Satu-satunya berita yang masih bisa dipercaya hanyalah berita yang dimuat di halaman 10,” ujarnya. Di halaman 10 itulah, kata dia, dimuat iklan dukacita. Gerrrrr..!! Semua hadirin tertawa. Termasuk Presiden Jokowi. Tepuk tangan pun membahana.

Bagaimana setelah reformasi, ketika pers menjadi terlalu bebas? ”Masyarakat Mesir malah lebih tidak percaya,” katanya. ”Semua berita memihak,” tambahnya. ”Halaman 10 pun tidak lagi dipercaya,” guraunya.

Meski hadirin terbahak lebih lebar, Sang Gubernur masih perlu klarifikasi. ”Ini bukan di Indonesia lho, ini di Mesir,” katanya. Hadirin pun kian terpingkal2. Semua mafhum. Ini bukan di Mesir. Ini di Indonesia.

* Saya mengenal banyak gubernur yang amat santun. Semua gubernur di Papua termasuk yang sangat santun. Yang dulu maupun sekarang. Tapi, gubernur yang baru mengkritik pers itu luar biasa santun. Itulah Gubernur NTB: Tuan Guru Dr. K.H. Zainul Majdi. Lebih akrab disebut Tuan Guru Bajang.

Gelar Tuan Guru di depan namanya mencerminkan bahwa dirinya bukan orang biasa. Dia Ulama besar. Tokoh agama paling terhormat di Lombok sejak dari kakeknya. Sang kakek punya nama selangit. Termasuk langit Arab: Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid.

Di Makkah, Sang Kakek dihormati sebagai ulama besar. Buku-bukunya terbit dalam bahasa Arab. Banyak sekali. Di Mesir, juga di Lebanon. Menjadi pegangan bagi orang yang belajar agama di Makkah.

Sang kakek adalah pendiri organisasi keagamaan terbesar di Lombok: Nahdlatul Wathan (NW). Setengah penduduk Lombok adalah warga NW. Di Lombok tidak ada NU. NU-nya, ya, NW itu. Kini sang cuculah yang menjadi pimpinan puncak NW. Dengan ribuan madrasah di bawahnya.

Pada zaman demokrasi ini, dengan mudah Tuan Guru Bajang terpilih menjadi anggota DPR. Semula dari Partai Bulan Bintang. Lalu dari Partai Demokrat. Dengan mudah pula dia terpilih menjadi gubernur NTB. Dan terpilih lagi. Untuk periode kedua sekarang ini.

Selama karirnya itu, Tuan Guru Bajang memiliki track record yang komplit. Ulama sekaligus Umara. Ahli agama, intelektual, legislator, birokrat dan sosok santun. Tutur bahasanya terstruktur. Pidatonya selalu berisi. Jalan pikirannya runtut.

Kelebihan lain: masih muda, 43 tahun. Ganteng. Berkulit jernih. Wajah berseri. Murah senyum. Masa depannya masih panjang. Pemahamannya pada rakyat bawah nyaris sempurna.

”Bapak Presiden,” katanya di forum tersebut, ”Saya mendengar pemerintah melalui Bulog akan membeli jagung impor 300.000 ton dgn harga Rp 3.000 per kg.

”Lalu, ini inti pemikirannya: Kalau saja pemerintah mau membeli jagung hasil petani NTB dgn harga Rp 3.000 per kg, alangkah sejahtera petani NTB. Selama ini, harga jagung petani di pusat produksi jagung Dompu, Sumbawa, NTB, hanya Rp 2.000 sampai Rp 2.500 saja per kg.

Sang gubernur kelihatannya menguasai ilmu mantik. Pelajaran penting waktu saya bersekolah di madrasah dulu. Pemahamannya akan pentingnya pariwisata juga tidak kalah.

”Lombok ini memiliki apa yang dimiliki Bali, tapi Bali tidak memiliki apa yang dimiliki Lombok,” motto barunya. Memang segala adat Bali dipraktikkan oleh masyarakat Hindu yang tinggal di Lombok Barat.

Demikian juga pemahamannya tentang vitalnya infrastruktur. Dia membangun by pass di Lombok. Juga di Sumbawa. Dia rencanakan pula by pass baru jalur selatan. Kini Sang Gubernur sedang merancang berdirinya kota baru. Kota internasional di Lombok Utara.

Sebagai gubernur, Tuan Guru Bajang sangat mampu dan modern. Sebagai Ulama, Tuan Guru Bajang sulit diungguli. Inikah sejarah baru??? Lahirnya Ulama dengan pemahaman Indonesia yang seutuhnya? Subhanallah.
--------------

Bila kita ingin masa depan Indonesia jadi lebih baik, maka bangsa ini harus dipimpin oleh sosok langka seperti Dr. K.H. Zainul Majid ini.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa utk menjadi Presiden di negeri ini maka dia harus menjadi 'Media Darling' sayangnya Pemimpin berkualitas dan berkualifikasi seperti beliau "mustahil" akan didukung oleh para Taipan Media, apalagi dengan latar belakang keislamannya yang begitu kental.

Namun itu bukan alasan bagi kita untuk tidak berusaha "Menempatkan Orang Baik di tempat yang baik untuk kebaikan bersama."
Karena Ketika Semut Bersatu Maka Naga Sekalipun Akan Jatuh.

#IniBukanKampanyePolitik
#IniKampanyeKebaikan Dan Perbaikan.

Wednesday, October 1, 2014

Siswaku yang Agak "Berbeda"

SISWA GILA
Yang pertama siswa terpandai, sebut saja namanya Aan (nama samaran); dia satu-satunya siswa yang mendapatkan beasiswa dari yayasan tempatku mengajar, Aan merupakan lulusan pertama dan terbaik di STM Bhinneka. Setelah lulus, tahun 1996 sebelum ijazah diambil, karena masih ada tanggungan biaya pendidikan-yang tidak ter-cover beasiswa-dia sudah diterima di bengkel besar di Batang dengan gaji Rp300 ribu per bulan-menyamai gaji suami saya yang PNS saat itu. Setahun bekerja Aan singgah ke rumah kami, dia menceritakan rencananya kuliah. Kusarankan kuliah sambil bekerja, daftar saja di Pekalongan ambil kelas ekstensi. Tapi rupanya Aan punya pertimbangan lain. Dia mau kuliah di Semarang, dibiayai pamannya yang bekerja di Korea.

Tahun pertama kuliah Aan sangat menikmati perannya sebagai mahasiswa pendakwah di kampus. Dia sempat menceritakan teman-temannya yang anak orang kaya, yang jarang sholat akhirnya mau sholat setelah berteman dengannya. Saya sangat salut dan mendukung aktivitasnya itu. Tapi seiring dengan krisis yang melanda Indonesia tercinta, Aan terhanyut dengan gerakan demonstrasi mahasiswa yang menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Saya masih menyarankan, bagus sekali kalau jadi mahasiswa yang kritis, tapi tetap harus ingat, tugas utamanya adalah kuliah.
                                                                    
Kejanggalan mulai nampak saat Aan menyatakan kalau dirinya adalah Satrio Piningit; kandidat pemimpin yang sudah diprediksi paranormal. Lebih parah lagi dia mengatakan Satrio Piningit ada 2; Satrio Piningit 1 adalah Sri Sultan Hamengku Buwana X (mohon maaf kalau kurang berkenan) adapun Satrio Piningit 2 ada 2 juga; yaitu dia (Aan) dan temannya yang anak pejabat di provinsi. Cerita semakin seru saat Aan menyatakan dia menerima uang 22 milyar dari Presiden Soeharto. Saat itu aku semakin curiga kalau dia sudah tidak waras. Lebih aneh lagi dia minta uang untuk ongkos ke Jogja menemui Sinuhun. Kuberi sesuai ongkos bus sekali jalan ditambah sedikit uang jajan, dia berkata,"Kok hanya sedikit? Nanti saya balik Kendalnya bagaimana?" Aku langsung menjawab,"Kau bilang punya uang 22 milyar, kok ongkos ke Jogja saja minta?" Dia pun menolak uang saya. Tapi dia menyatakan mau pinjam motor. Aku pun tak keberatan meminjaminya. Tapi saat menuntun motor sampai depan pintu rumah, dia mengatakan,"Ah, kalau aku ke Jogja, berarti aku mengakui lebih rendah dari Sultan." Aan pun mengurungkan niatnya. Selanjutnya dia meminta izin memakai telepon, aku pun mempersilahkan. Tapi hal yang sama kembali terjadi. Saat mengangkat gagang telepon,"Ah, kalau aku yang telepon, berarti aku mengakui lebih rendah dari Sultan."                                  

Lain hari dia kembali ke rumah. Kali ini Aan datang naik sepeda, berpakaian kemeja katun putih lengan panjang dengan celana jeans biru muda. Kusodori sepiring pisang goreng buatanku yang dipesan Ica, anakku, dan baru sepotong dinikmatinya. Sambil menikmati pisang goreng, Aan menyatakan sudah memiliki ilmu kanuragan, dan akan mentransfer ilmunya kepada Ica yang saat itu baru berusia 5 tahun. Setelah mendorongkan telapak tangan yang terbuka dari dadanya ke arah Ica,"Sudah kuisi macan putih, Bu." Aku hanya tersenyum. Menyadari pisang goreng pesanannya ludes dihabiskan Aan, Ica berteriak,"Umi, pisangnya mana?!" dengan suara yang lantang karena marah. Aan malah mengatakan,"Itu Bu, macan putihnya udah nampak." Aku sibuk menenangkan Ica hingga tak menyadari Aan telah meninggalkan rumah kami dan tanpa sepedanya.
                                                                   
Tiga hari kemudian Aan kembali ke rumah kami dalam keadaan yang payah, nampaknya tiga hari tidak mandi, baju n badannya penuh debu, kusut masai. Setelah kami suruh mandi dan ganti pakaian suami, lalu makan, Aan langsung tidur kecapekan. Karena keadaannya semakin parah aku dan suami berunding bagaiman sebaiknya. Aku khawatir kalau suatu ketika emosinya tak terkendali padahal suami kalau pulang sampai sore, sedang Aan sering datang sejak siang sementara kondisiku sedang hamil anak ke-2. Akhirnya kami putuskan suamiku akan mengantarnya pulang karena aku sudah takut.                                                              

Saat sampai ujung gang kami, Aan turun, tidak mau diboncengkan suamiku. Dia bilang sedang dikejar-kejar Kopasus karena dia Satrio Piningit yang sedang diperebutkan pimpinan Kopasus yang terpecah menjadi 2, Kopasus Merah di bawah Prabowo Subiyanto dan Kopasus Hijau di bawah pimpinan Wiranto. Alhamdulillah dengan bertanya-tanya sepanjang jalan, akhirnya suamiku tiba di desanya ternyata para tetangga sudah tahu kalau jiwa Aan terganggu. Dari bapaknya, suamiku tahu kalau ternyata kuliahnya ga serius, hanya main saja. Pamannya jadi menghentikan kiriman biaya kuliah. ATM yang ditunjukkan-yang katanya berisi 22 milyar itu sebenarnya ATM yang sudah tidak berlaku karena sudah tidak ada aktivitas keuangan lagi. Itulah yang menyebabkan jiwanya terganggu di samping faktor keturunan, karena ibunya juga mengaami gangguan jiwa.

Sejak itu aku tak pernah mendengar kabar beritanya lagi. Sampai suatu ketika, dia datang ke sekolah menyatakan mau melamar jadi guru. Oleh guru yang menemuinya malah dikatakan,"Sudah membuat surat lamaran belum? Masih ingat surat lamaran tidak? kKalau sudah lupa, datang saja ke rumah Bu Endang agar diajari lagi." Karena guru itu tahu kisahnya dan merasa geli kok hanya rumahku saja yang didatangi, padahal gurunya banyak, Hadeehhh.